Edisi 12: WADIAH (Titipan)
Posted by Ferdiansyah Syaiful Hijrah
» Tuesday, March 21, 2017
Assalamu'alaikum wr. wb.
Alhamdulillaah wassholaatu wassalaamu 'alaa rasulilaah.
Amma ba'd
Ikhwan dan Akhwat yang dimuliakan Allah, alhamdulillah kita berjumpa lagi dalam Kajian Ekonomi Islam. Tidak terasa kita sudah memasuki Edisi ke 12.
Malam ini kita akan membahas tentang Wadî’ah
Mari kita mulai dengan membaca Basmallah
Bismillaahirrahmaanirraahiim...
Wadî’ah
Secara bahasa, wadî’ah (bentuk pluralnya wadâ`i’) adalah sesuatu yang dititipkan.
Secara istilah, wadî’ah adalah harta yang dititipkan oleh pemiliknya kepada orang lain untuk disimpan.
Secara syar’i, wadî’ah adalah akad yang mengharuskan penyimpanan harta oleh orang lain itu. Wadî’ah itu merupakan amanah meski amanah sifatnya lebih umum dari wadî’ah. Setiap wadî’ah merupakan amanah, sebaliknya tidak setiap amanah merupakan wadî’ah.
Jumhur ulama menilai, wadî’ah merupakan jenis wakalah yang bersifat khusus, yaitu wakalah yang berkaitan dengan menempatkan orang lain pada posisi diri sendiri dalam menjaga sesuatu saja, dan tidak sampai pada tasharruf (mengelola) pada sesuatu itu yang merupakan tanda wakalah yang bersifat mutlak.
Wadi’ah hukumnya boleh/mubah. Dalilnya adalah al-Quran surat al-Baqarah: 283; an-Nisa’: 58; juga sunnah fi’liyah dan qawliyah. Nabi saw. bersabda:
أَدِّ الأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ
Tunaikan amanah kepada orang yang mengamanahimu dan jangan khianati orang yang mengkhianatimu (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ahmad, al-Hakim, al-Baihaqi).
Beberapa Hukum Wadî’ah
Wadî’ah merupakan akad sehingga agar sah harus memenuhi rukun dan syaratnya. Rukun wadî’ah ada tiga: 1. al-‘aqidân, yaitu al-Mûdi’ (yang menitipkan) dan al-wadî’ atau al-mustawda’ (yang dititipi); 2. Al-Mûda’ (harta yang dititipkan) atau yang disebut al-wadî’ah; 3. Shighat atau ijab dan qabul.
Syarat wadî’ah: Pertama, syarat terkait dengan al-‘aqidân. Al-Mûdi’ disyaratkan harus orang yang sah melakukan tasharruf, dan ia adalah pemilik atau wakil dari pemilik harta titipan itu. Al-Wadî’ atau al-mustawda’ juga disyaratkan harus orang yang sah melakukan tasharruf dan tertentu artinya saat akad jelas siapanya.
Kedua, syarat terkait ijab dan qabul. Ijab dan qabul itu harus berdasarkan kerelaan kedua pihak. Ijab harus sama dengan qabul dan ada pertautan, yaitu harus dalam satu majelis.
Ketiga, syarat terkait al-wadî’ah atau al-mûda’, yaituharus berupa harta yang jelas dan bisa dikuasakan. Sebagian fukaha menambahkan syarat harta itu haruslah harta bergerak sehingga properti seperti tanah, pabrik, rumah dsb, tidak bisa diwadî’ahkan.
Di luar semua itu, agar akad wadî’ah itu sah dan sempurna maka harta yang dititipkan harus diserahkan kepada al-wadî’ dan dipindahkan dalam kekuasaan al-wadî’ itu. Sebab, al-wadî’ tidak bisa menjaga dan menyimpannya kecuali harta itu diserahkan kepada dirinya dan dipindahkan dalam kekuasaannya untuk dia simpan dan dijaga.
Selain itu di dalam akad al-wadî’ah terdapat beberapa hukum. Pertama: para fukaha sepakat bahwa akad wadi’ah merupakan ‘aqdun jâ’izun, yaitu bukan akad yang mengikat. Artinya, baik al-mûdi’ atau al-wadî’ kapan saja boleh membatalkan akad wadi’ah itu tanpa bergantung pada kerelaan pihak lainnya. Hanya saja ada pengecualian menurut fukaha Syafiiyah seperti yang diungkapkan oleh asy-Syihab ar-Ramli, bahwa akad-akad ja’iz jika fasakh (pembatalannya) menyebabkan dharar terhadap pihak lain maka itu terlarang dan menjadi lâzimah (mengikat).
Kedua: para fukaha sepakat bahwa akad wadi’ah pada dasarnya merupakan akad tabarru’ yang tegak di atas asas kelemahlembutan, ta’awun, bantuan. Maka dari itu, al-mûdi’ tidak perlu memberikan imbalan kepada al-wadî’ atas penyimpanan itu. Jadi wadi’ah itu bukan akad mu’awadhah (kompensatif). Jika untuk penyimpanan itu ada imbalan yang disepakati untuk al-wadî’ maka akad tersebut bukan lagi akad wadi’ah melainkan akad ijarah. Contoh: layanan safe deposit box di bank.
Ketiga: wajibnya al-wadî’ menjaga wadi’ah yang ada padanya seperti ia menjaga hartanya sendiri. Nabi saw. bersabda:
عَلَى الْيَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّىَ
Tangan itu wajib (menjaga) apa yang ia ambil sampai ia tunaikan (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah, Ahmad, al-Hakim, al-Baihaqi)
Keempat: al-wadî’ wajib segera menyerahkan harta wadi’ah begitu diminta oleh pemiliknya (al-mûdi’) (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 283)
Kelima: para fukaha sepakat bahwa al-wadî’ah itu merupakan akad amanah. Status al-wadî’ adalah yad al-amânah. Karena itu, jika harta wadi’ah itu hilang, rusak atau lainnya, al-wadî’ tidak bertanggung jawab dan tidak menanggungnya kecuali jika itu karena kesengajaannya atau ia lalai menjaganya. Jadi status al-wadî’ itu bukanlah yad adh-dhamânah. Ini merupakan ketentuan mendasar wadi’ah. Amru bin Syuaib meriwayatkan dari bapaknya dari kakeknya, Nabi saw. bersabda:
مَنِ اسْتُودِعَ وَدِيعَةً فَلاَ ضَمَانَ عَلَيْهِ
Siapa yang dititipi wadi’ah maka tidak ada tanggungan atasnya (HR al-Baihaqi).
Hanya saja, harus diingat, amanah itu hanyalah amanah untuk menyimpan dan menjaga wadi’ah itu; tidak termasuk di dalamnya hak untuk men-tasharruf-nya. Sebagai seorang amîn,al-wadî’ haram mengkhianati amanah wadi’ah itu. Khianat terhadap amanah wadi’ah itu bisa dalam bentuk: tanpa izin al-mûdi’, al-wadî’ mencampurkan harta wadi’ah itu dengan hartanya sendiri atau harta orang lain, atau men-tasharruf-nya seperti menggunakannya atau bentuk tasharruf lainnya, atau lalai tidak menjaganya, atau sengaja merusak atau menghilangkannya, dan sebagainya. Dalam semua kondisi itu, al-wadî’ harus bertanggung jawab, yakni dia wajib menanggung (dhamân). Jika harta wadi’ah itu hilang atau rusak maka ia wajib menggantinya.
Jika ada izin dari al-mûdi’ kepada al-wadî’ untuk men-tasharruf harta wadi’ah maka hal itu membuat fakta akad tersebut bukan lagi akad wadi’ah. Jika izinnya adalah izin untuk mengambil atau menggunakan manfaat dari harta itu sementara zat hartanya tetap atau tidak berubah maka akad tersebut merupakan akad i’ârah (pinjam pakai).
Jika izinnya adalah izin untuk menggunakan zat harta itu sehingga al-wadî’ boleh mengkonsumsinya, menjualnya, atau yang lainnya, dan dia menjamin untuk menyerahkan harta itu ketika al-mûdi’ memintanya, maka akad tersebut merupakan akad utang baik dalam bentuk qardhun ataupun dayn.
Terkait perbankan, al-Mawsû’ah al-‘Ilmiyah wa al-‘Amaliyah li al-Bunûk al-Islâmiyah (hlm. 123, Kairo. 1982) menyebutkan: jika al-wadî’ men-tasharrufwadi’ah dan memanfaatkannya dengan izin pemilik maka hasil tasharruf itu mengambil satu dari tiga kondisi: 1. Jika tasharruf itu untuk kepentingan al-wadî’ (bank) maka wadi’ah berupa uang itu menjadi qardh (utang) dan labanya untuk pengutang (bank). 2. Jika izin tasharruf itu dalam bentuk wakalah maka al-wadî’ (bank) menjadi wakil al-mûdi’ dalam men-tasharrufwadi’ah dan labanya untuk al-mûdi’. 3. Jika izin itu dalam bentuk mudharabah atau musyarakah maka al-wadî’ menjadi mudharib atau mitra dan labanya dibagi menurut kesepakatan.
Itulah yang terjadi pada wadi’ah di perbankan syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya. Uang yang disetor nasabah tidak disimpan dalam bentuk bendanya untuk dikembalikan benda yang sama ketika diminta nasabah. Uang nasabah itu dicampur/disatukan dengan uang nasabah lain bahkan dengan uang bank sendiri yang merupakan modal dari para pemodalnya. Lalu kumpulan uang itu digunakan oleh bank dalam berbagai bentuk usaha bank tersebut.
Terkait hal itu, Dr. Fathi Lasyin seperti dikutip oleh Dr. ‘Ayidh Fadhl asy-Sya’rawi dalam Al-Mashârif al-Islâmiyyah (hal. 152-153, Dar al-Jami’ah. 2007) mengatakan bahwa uang yang disimpan di bank islami (bank syariah) tidak memiliki sifat wadi’ah, melainkan memiliki sifat qardhun atau dayn. Ia menambahkan, tidak lain disebut wadi’ah disebabkan secara historis bermula dalam bentuk wadi’ah lalu dalam praktik dan meluasnya aktivitas perbankan, berkembang menjadi qardh (utang), dan dari sisi lafazh tetap disebut wadi’ah meski sudah kehilangan konotasi fikih dan legal dari istilah wadi’ah.
Terhadap fakta itu Dr. Sami Hasan Hamud, penggagas murâbahah li al-âmir bi asy-syirâ’ yang dipraktikkan oleh bank dengan sebutan murabahah, dalam desertasinya, Tathwîr al-a’mâl al-Mashrifiyah bi Mâ Yattafiqu asy-Syarî’ah al-Islâmiyyah (hlm. 265, Mathba’ah asy-Syarq, Amman. 1984) menyatakan, “Jika ditetapkan bahwa wadi’ah perbankan adalah qardhun, maka maknanya bahwa apa yang dibayarkan oleh bank sebagai tambahan atas jumlah wadi’ah (simpanan) merupakan riba.”
Atas dasar itu, apa yang diistilahkan sebagai bonus yang diberikan oleh bank atau lembaga keuangan lainnya terhadap rekening wadi’ah, apapun nama rekeningnya, jelas merupakan riba.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb.
Tanya:
ustadz, saya mau tanya kalo transaksi di unit usaha pegadaian syariah apakah termasuk wadi'ah atau akad yg lain/berbeda?
------------------------------------------------------------------------
Jawab:
Akadnya "Rahn". Insya Allah kita bahas minggu depan. Tapi ada penyimpangan dalam praktiknya, tidak sama dengan "Rahn"
Tanya :
Ustadz,, kita kan harus mnjaga barang yg dititipkan sperti mnjaga harta kita sndiri.. Apakah itu brarti kita juga menanggung perawatan barang trsebut? Dan klo iya,, untuk biaya perawatannya mnjadi beban siapa?
----------------------------------------------------------
Jawab:
Ya tetap menjadi tanggungan si pemilik. Misalnya: si A titip sapi peliharaannya ke si B. Maka biaya pakannya menjadi tanggungan si A. Adapun tenaga yang dikeluarkan oleh si B dalam merawat sapi itu selama dititipkan merupakan "shodaqoh" dan insya Allah beroleh pahala yang besar.
Namun jika tenaga si B juga menjadi tanggungan si A, maka itu bukan Wadi'ah, melainkan Ijarah (kontrak kerja).
Tanya:
Kang ferdi mau tanya, bagaiman konteksnya jika di titipkan duit lantas duit tsb di putar lg hingga menghasilkan sesuatu tanpa mengurangi nilai/jumlah awal yg dititip namun yg dititipin mengambil untung dari kelebihan duit yg dipinjamkn td.
Cth: si A nitip ke B 200rb. Si B mnjadik modal bwt nambah dagangan lwt duit B senilai 100rb. Si B dpt untung 300rb. Dan 100rb si B dkembalikan. Dan yg 300tsb di ambil si B tanpa si A tau.
Cth. 2 si A dititipkn mbl dari si B. Dan si A memakai mbl yg dititip tsb bwt dijadikn bisnis grab car. Dan si A dpt untung dr mbl si B tanpa sepengetahuan B. Itu gimana ?? Dibolehkan atau termasuk hukum wadiah jg kh?
-----------------------------------------------
Jawab:
Contoh 1: Berarti akad nya seharusnya utang (qardh). Tidak boleh dipakai kl akad nya Wadi'ah (titipan). Dan akad ini harus jelas dari awal.
Contoh 2: iya itu tidak boleh, itu dzalim. Kecuali dari awal akadnya "i'arah" (pinjam pakai) atau ijarah (sewa). Kl i'arah tanpa kompensasi, kl ijarah ada kompensasi.
Tanya:
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalamu'alaikum Ustad afwan pertanyaan klu di luar tema urgent Ustad hee
Masalah jualan gas 3 kg Ustad, karena peraturan dari pemerintah gas 3 kg subsidi dan di pergunakan untuk kalangan miskin, bahkan di tabungnya di tulisin untuk orang miskin, karena perbedaan harga isi tabung 3 kg dan 12 kg terlampau jauh, jadi banyak yg orang terhitung mampu pada berhemat dan pindah ke isi 3kg,sehingga mungkin yg menyebabkan langka di pasaran dan orang2 yg bener2 butuh(miskin jadi susah mendapatkannya) yg saya tanyakan apakah hal seperti itu bisa di kategorikan mendzolomi jazakallahu khoiron sebelumnya
-------------------------------------------------------
Jawab:
Yang dzalim adalah penguasa, yang mencabut subsidi, sehingga harga-harga mahal.
Tanya:
Assalamu'alaikum ustadz,,afwan ana msh krang mengerti dgn wadi'ah,,bisakah diberi contoh yg lbh rinci ttg wadi'ah? Syukron
--------------------------------------------------------------------------
Jawab:
Itu contohnya sudah saya berikan, yang tentang sapi.
Tanya:
ust sy mw bertanya,apakah boleh BANK (al wadi)dlm islam?tks
----------------------------------------------------------------------
Jawab:
Ini pertanyaan khusus untuk Wadi'ah atau secara umum?
Kl untuk Wadi'ah, akad di bank cacat karena bank memakai uang kita.
Kl secara umum, masih ada beberapa jenis produk/layanan bank yang boleh/halal, misalnya layanan transfer, menabung tanpa bunga, dll. Insya Allah ini akan ada pembahasan khususnya.
Tanya:
Kalau ada teman pinjam mobil buat mudik, terus sepulang mudik mobil dikembalikan dengan kondisi bensin full ditambah lagi bawa oleh2. Apakah boleh diterima?
----------------------------------------------------------------------
Jawab:
Boleh, dengan syarat: sebelumnya sudah terbiasa saling memberi hadiah/oleh-oleh/makanan dll.
Karena tambahan/kelebihan yang tergolong riba itu ada pengecualiannya dalam sebuah hadist: kecuali sudah terbiasa saling memberi.
Misalnya: si A pinjam uang 100 ribu ke si B. Sebulan kemudian, si A mengembalikan uang 100 ribu + rambutan sekilo.
Maka ada dua kemungkinan hukum:
1. Jika si A dan si B ini dua sahabat/tetangga yang sudah terbiasa saling memberi, maka rambutan yang sekilo itu bukan riba.
2. Jika si A dan si B ini tidak terlalu akrab dan belum pernah saling memberi baik makanan, oleh-oleh atau apapun, maka rambutan yang sekilo itu termasuk Riba.
Tanya :
Assalamualaikum Ustad, ane punya kambing 2 ekor satu betina satu jantan.ane titipkan ke adik ipar.ia yg merawat dan mengembagbiakan dg dikawinkan dg kambing ipar.hasil kawinan kambing itu lalu di bagi ke ane dan ipar.segala ongkos kandang dan obat jadi urusan ane.klao makanan dan minuman kambing urusan ipar.Secara syari ,ada yang salah gak ustad??
------------------------------------------------
Jawab:
Berarti akad nya Syirkah Mudharabah. Insya Allah akan ada pembahasannya.
Tanya :
Ustad, apakah return dari reksa dana merupakan riba juga?
----------------------------------------------
Jawab:
Insya Allah akan ada pembahasannya secara khusus.
Sayang sekali waktu jua lah yang membatasi.
Mohon maaf atas segala khilaf.
Mari kita tutup dengan membaca hamdalah, istighfar, dan doa kifaratul majelis.
Wassalaamu'alaikum wr wb.
ADS HERE !!!