Edisi 6 : Al-Bai' (Jual Beli)
Posted by Ferdiansyah Syaiful Hijrah
» Tuesday, March 14, 2017
Secara etimologi, Al-bai’ artinya menjual, mengganti dan menukar sesuatu dengan yang lainnya. Kata al-bai’ dalam bahasa Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yaitu kata alsyira’. Kata jual menunjukkan bahwa adanya perbuatan menjual, sedangkan beli adalah adanya perbuatan membeli.
Dengan demikian, perkataan jual beli menunjukkan adanya dua perbuatan dalam satu peristiwa, yaitu satu pihak menjual dan pihak yang lain membeli. Maka terjadilah peristiwa hukum jual beli. Berarti dalam jual beli itu terlibat dua pihak yang saling menukar atau melakukan pertukaran.
Secara terminologi, para fuqaha memberikan definisi berbedabeda. Misalnya; M. Hasbi Ash Shiddieqy dalam bukunya Hukum-hukum Fiqh Islam, mendefinisikan jual beli: mengalihkan hak milik kepada seseorang sesuatu barang dengan menerima dari padanya harta (harga) atas dasar keridhaan kedua belah pihak (pihak penjual dan pihak pembeli).
Sedangkan Abdurahman al-Jaziri dalam al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah mendefinisikan jual beli sebagai transaksi saling menerima sesuatu dengan sesuatu yang lain. Sementara Sayyid Sabiq dalam Fiqh al- Sunnah, mengartikan; pertukaran harta dengan harta atas dasar saling rela (taradli) atau memindahkan milik dengan mendapat ganti dengan jalan yang dibenarkan.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud jual beli yaitu suatu peristiwa hukum antara seseorang (penjual) yang menyerahkan barangnya kepada orang lain (pembeli) dengan adanya persetujuan dan saling rela dari keduanya mengenai barang dan harganya dan si penjual pun menerima uang sebagai ganti dari barang yang telah diserahkan itu.
Jual beli merupakan perbuatan hukum yang mempunyai konsekuensi terjadinya peralihan hak atas sesuatu barang dari pihak penjual kepada pihak pembeli, maka dengan sendirinya dalam perbuatan hukum ini haruslah dipenuhi rukun dan syarat jual beli. Adapun yang menjadi rukun dalam jual beli adalah:
1. Adanya pihak penjual dan pembeli (Al-‘Aqidan).
2. Adanya uang dan benda (Ma’qud ‘Alaih).
3. Adanya lafal (Ijab Qabul).
Dalam suatu perbuatan jual beli, ketiga rukun itu hendaklah dipenuhi, sebab apabila salah satu rukun tidak terpenuhi, maka perbuatan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan jual beli.
Jual beli haruslah memenuhi syarat, baik tentang subjeknya, tentang objeknya, dan tentang lafal.
1. Subjeknya (Al-‘Aqidan)
Kedua belah pihak yang melakukan jual beli haruslah :
Pertama, berakal agar dia tidak terkecoh. Orang gila atau bodoh tidak sah dalam melakukan jual beli.
Kedua, dengan kehendaknya sendiri (tidak dipaksa).
“Hai orang –orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan perniagaan (jual beli) yang berlaku dengan keadaan suka sama suka diantara kamu …” (QS. An-Nisa ayat 29)
Ketiga, keduanya tidak mubazir. Pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian jual beli bukanlah manusia yang boros.
Keempat, baligh.
2.Tentang Objeknya (Ma’qud “Alaih)
Yang dimaksud dengan objek jual beli adalah benda yang menjadi sebab terjadinya jual beli. Benda yang dijadikan sebagai objek jual beli haruslah memenuhi syarat-syarat berikut:
Pertama, bersih barangnya. Ialah barang yang diperjualbelikan bukanlah benda yang dikualifikasi sebagai benda najis, atau digolongkan sebagai benda yang diharamkan. Hal itu didasarkan pada ketentuan: Dari Jabin Bin Abdullah, berkata Rasulullah SAW,
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan menjual arak (minuman yang memabukkan) dan bangkai, begitu juga babi dan berhala …” (Sepakat ahli hadis)
Kedua, dapat dimanfaatkan. Kemanfaatan barang tersebut sesuai dengan hukum dan syariat Islam. Maksudnya memanfaatkannya sesuai dengan ketentuan norma agama.
Ketiga, milik orang yang melakukan akad. Maksudnya bahwa orang yang melakukan perjanjian jual beli atas sesuatu barang adalah pemilik sah barang tersebut dan telah mendapat izin dari pemilik sah barang tersebut.
Keempat, mampu menyerahkan. Maksudnya penjual (sebagai pemilik maupun sebagai kuasa) dapat menyerahkan barang yang dijadikannya sebagai objek jual beli sesuai dengan bentuk dan jumlah yang diperjanjikan pada waktu penyerahan barang kepada pembeli.
Kelima, mengetahui. Maksudnya melihat sendiri keadaan barang, baik mengenai takaran, timbangan dan kualitasnya.
Keenam, barang yang diakadkan di tangan. Menyangkut perjanjian jual beli atas sesuatu barang yang belum ditangan (tidak berada dalam penguasaan penjual).
Tanya:
Bagaimana hukumnya perantara?
Ada perantara yang meminta komisi dengan ditentukan sendiri
Ada perantara yang dijanjikan komisi oleh penjual
Manakah yang dibolehkan?
-------------------------------------------
Perantara ("samsarah" pekerjaannya, "simsaar" orangnya) adalah pekerjaan yang boleh dilakukan.
Imam malik ketika ditanya mengenai samsarah, menjawab: "hal itu tidak apa-apa".
Komisi yang didapatkan nya pun halal, baik ditentukan sendiri maupun dijanjikan oleh penjual. Selama keduanya bersepakat.
Yang tidak boleh itu adalah "samsarah 'ala samsarah" (perantara di atas perantara). Inilah yang menyebabkan MLM haram. Karena setiap MLM pasti ada samsarah 'ala samsarah. Ada orang yang menikmati bonus bukan dari hasil pekerjaannya sendiri, tapi hasil pekerjaan down line nya merekrut member baru (member get member).
Kalau OLM (One Level Marketing) itu boleh. Artinya seseorang (misal namanya Ahmad) mendapat bonus ketika merekrut seseorang (misal namanya Budi). Tapi ketika Budi merekrut member baru (misal namanya Cucu) maka Ahmad tidak mendapat bonus, hanya Budi yang mendapat bonus. Yang seperti ini boleh karena masih termasuk dalam lingkup samsarah.
Tanya:
Dalam jual beli apakah harus ada barangnya? Bagaimana dengan investasi yang juga memakai perjanjian?
-----------------------------------------
Jawab:
Jual beli itu pembahasannya ke Al-Bai'.
Investasi itu pembahasannya ke Syirkah.
Jadi beda pembahasan. Kenapa?
Karena memang faktanya pun beda antara Jual Beli dengan Investasi.
Tanya:
Bagaimana dengan hukum reseller, halal atau haram?
Apakah ada batasan keuntungan yang boleh diambil oleh reseller?
---------------------------------------
Jawab:
Pertanyaan tentang Reseller ini saya gabung saja dengan pertanyaan tentang Dropship.
Reseller itu termasuk ke dalam samsarah. Jadi hukum-hukum tentang samsarah berlaku pada Reseller. Misalnya tidak boleh berlapis ke bawah (samsarah 'ala samsarah). Kemudian tidak boleh mengakui bahwa barang yang dijual itu miliknya. Dll.
Selama larangan-larangan itu tidak dilanggar, maka hukum Reseller adalah Boleh.
Sedangkan Dropship pada faktanya termasuk ke dalam Jual Beli Salam (Al-Bai' us Salam). Apa itu Bai' as-salam? Yaitu jual beli pesanan, uang dulu kontan, baru barang diberikan. Ada beberapa larangan dalam Bai' as-salam ini, diantaranya pembeli tidak boleh membayar sebagian di muka, tetapi harus lunas. Dll. Selama larangan-larangan tersebut tidak dilanggar, maka Bai' as-salam ini boleh. Jadi hukum Dropship itu Boleh.
Tanya:
Menyangkut materi di atas, mohon penjelasan
'Keenam, barang yang diakadkan di tangan. Menyangkut perjanjian jual beli atas sesuatu barang yang belum ditangan (tidak berada dalam penguasaan penjual).
-----------------------------------------
Jawab:
Maksudnya barangnya harus jelas ada dan jelas spesifikasinya. Dari ketentuan ini seolah-olah Bai' as-salam hukumnya haram. Padahal tidak. Lebih jelasnya akan saya jelaskan nanti di Kajian tentang Bai' As-Salam dan Kajian tentang Dropship.
Tanya:
Kl perantaranya berlapis, bgmn?
--------------------------------------
Jawab:
Ini disebut samsarah 'ala samsarah. Hukumnya haram.
Inilah yang menyebabkan MLM haram. Saya sudah jelaskan pada jawaban pertanyaan nomor 1 di atas.
ADS HERE !!!