Assalamu'alaikum wr. wb.
Alhamdulillaah wassholaatu wassalaamu 'alaa rasulilaah.
Amma ba'd
Ikhwan dan Akhwat yang dimuliakan Allah, alhamdulillah kita berjumpa lagi dalam Kajian Ekonomi Islam. Tidak terasa kita sudah memasuki Edisi ke 14.
Minggu lalu kita sudah membahas tentang Rahn. Dan malam ini kita akan melanjutkannya, yaitu tentang Hukum Memanfaatkan Barang Rahn.
Mari kita mulai dengan membaca Basmallah
Bismillaahirrahmaanirraahiim...
Hukum Memanfaatkan Barang Gadai (Rahn)
Tanya :
Bagaimanakah hukum memanfaatkan barang gadai (rahn)? Misalnya, seseorang menggadaikan motornya kepada si Fulan. Bolehkah Fulan mengendarai motor tersebut?
Jawab :
Perlu dipahami lebih dahulu bahwa pada saat penggadai (rahin) menyerahkan barang gadai (rahn/marhun) kepada pemegang gadai (murtahin), tak berarti barang gadai itu menjadi milik pemegang gadai, tapi tetap milik penggadai (rahin). Dalilnya hadits Abu Hurairah RA, dia berkata, “Nabi SAW bersabda, ‘Tak terhalang barang gadai dari pemiliknya yang telah menggadaikannya. Pemiliknya berhak mendapat keuntungannya, dan dia menanggung kerugiannya.” (HR Syafi’i & Daruquthni, hadis hasan).
Hadits di atas menunjukkan barang gadai tak terpisahkan dari pemiliknya, yaitu penggadai. Jadi yang memiliki barang gadai termasuk manfaat yang muncul darinya adalah tetap penggadai, bukan pemegang gadai. Keberadaan barang gadai di tangan pemegang gadai hanyalah sebagai kepercayaan dalam utang piutang (dain) antara penggadai dan pemegang gadai, bukan berarti pemegang gadai lalu memilikinya atau berhak memanfaatkannya. (Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 6/62).
Maka penggadai tetap berhak atas manfaat barang gadai dan tetap berhak pula mengambil imbalan (ujrah) ketika barang gadai disewakan kepada orang lain, baik orang lain itu pemegang gadai atau bukan.
Dalam kasus yang ditanyakan, jika pemegang gadai mengendarai motor yang digadaikan dengan akad sewa (ijarah), hukumnya boleh. Namun kalau pemegang gadai mengendarai motor itu tanpa imbalan, ada rincian hukum syara’ sebagai berikut :
Pertama, jika utang piutang (dain) yang ada bukan qardh (pinjam uang), misalnya utang karena jual beli yang belum dibayar harganya, atau karena ijarah yang belum dibayar sewanya, atau utang lainnya selain qardh, boleh pemegang gadai (murtahin) memanfaatkan barang gadai, dengan seizin penggadai (rahin). Mengapa boleh? Karena dalam hal ini tak terdapat nash yang melarangnya dan manfaat itu tak memenuhi definisi riba mengingat tak ada qardh di sini.
Kedua, jika utang piutang (dain) yang ada berupa qardh (pinjam uang), hukumnya tidak boleh pemegang gadai memanfaatkan barang gadai, walaupun diizinkan oleh rahin. Mengapa tidak boleh? Karena terdapat nash yang melarangnya dan karena manfaat itu termasuk riba yang diharamkan dalam akad qardh. Dari Anas RA dia berkata, “Rasulullah SAW ditanya,‘Seorang laki-laki dari kami meminjamkan (qardh) harta kepada saudaranya, lalu saudaranya memberi hadiah kepada laki-laki itu. Maka Rasulullah SAW bersabda, ‘Jika salah seorang kalian memberikan pinjaman (qardh), lalu dia diberi hadiah, atau dinaikkan ke atas kendaraan si peminjam, maka janganlah dia menaikinya dan janganlah menerimanya. Kecuali hal itu sudah menjadi kebiasaan sebelumnya di antara mereka.” (HR Ibnu Majah)
Berdasarkan hadits ini, haram hukumnya pemegang gadai memanfaatkan barang gadai, jika utangnya berupa qardh. Kecuali, jika sebelumnya di antara mereka berdua sudah terbiasa saling memberi atau meminjamkan barang, maka hukumnya boleh.
Jadi, dalam kasus di atas, jika utang piutangnya bukan qardh, Fulan boleh mengendarai motor yang menjadi barang gadai tanpa imbalan, asalkan diizinkan penggadai (pemilik motor). Jika utang piutangnya berupa qardh, Fulan tak boleh mengendarai motor tersebut, walaupun diizinkan penggadai. Kecuali jika sebelumnya di antara mereka berdua sudah terbiasa saling memberi atau meminjamkan barang, hukumnya boleh.
Wallahu a’lam
Sesi Tanya Jawab
Pertanyaan Pertama:
Tanya:
Assalamu'alaikum ustadz
Apakah yg di mksd poin no 2 adalah orang yg butuh uang lalu menggadaikan barang misal motor kpda orng lain dn yg menerima gadai tidak boleh pke motor tersebut wlaupn sdh di ijinkn sama penggadai ??
-----------------------------------------------------------------
Jawab:
Iya betul. Karena hal tersebut termasuk riba. Penerima gadai boleh memakai motor jika melakukan salah satu dari 2 hal di bawah ini:
1. Mereka berdua (penerima gadai dan penggadai) sudah terbiasa saling memberi (barang maupun uang) sebelum terjadinya gadai tersebut.
2. Penerima gadai memberi uang sewa kepada penggadai (pemilik motor).
Pertanyaan Kedua:
Tanya:
Bismillaahirrohmaanirrohiim , Assalamu'alaikum pak ustadz mau nanya : jika ada teman saya yg mengadaikan motor ke saya terus sesuai perjanjian 3bulan bakal di tebus tapi sampe 5 bulan berlalu tidak ditebus juga, lalu akhirnya motornya dia saya gadaikan lagi ke orang lain trus gimana ustadz hukumnya di perbolehkan tidak ? Tapi sebelumnya saya juga sudah ijin ke pihak pertama . Makasih atas jawabanya
-----------------------------------------------------------------------------------------------
Jawab:
Ini terjadi akad bertingkat. Untuk penjelasan yang lebih terperinci nya silakan Akhi baca kajian saya yang Edisi ke 8 (tanggal 20 September 2016) yang bertema: Shafqataini Fii Shafqah
Pertanyaan Ketiga:
Tanya:
Assalamu'alaikum ustadz..
Afwan ustadz... mau tanya diluar tema, tp masih seputar ekonomi syariah.
Bagaimanakah hukum bank syariah di Indonesia ? Mohon penjelasannya..
Jazakalloh khoir..
-------------------------------------------------------------------------------------------
Jawab:
Menjawab hal ini akan membutuhkan berminggu-minggu (beberapa Edisi). Jadi terus ikuti Kajian Ekonomi Syariah ya Akh 😊
Pertanyaan Keempat
Tanya:
Jadi mesti ada uang sewa biar boleh di pke mtor y nah uang sewa y harus di sepakati dulu dengn penggadai / terserah penerima gadai mw ksh berapa kepda penggadai
Afwan nanya lgi ustadz soal y ini sdng trjdi pda ortu saya kbtulan ortu penerima gadai dn brang yg di gadai jg motor ...
---------------------------------------------------------------------------------------
Jawab:
Iya harus disepakati dulu (harus ada akad)
Penutup
Sayang sekali waktu jua lah yang membatasi.
Mohon maaf atas segala khilaf.
Mari kita tutup dengan membaca hamdalah, istighfar, dan doa kifaratul majelis.
Wassalaamu'alaikum wr wb.