Kata syirkah dalam bahasa Arab berasal dari
kata syarika (fi’il mâdhi), yasyraku (fi’il mudhâri’),
syarikan/syirkatan/syarikatan (mashdar/kata dasar); artinya menjadi sekutu atau
serikat (Kamus Al-Munawwir, hlm. 765). Kata dasarnya boleh dibaca syirkah,
boleh juga dibaca syarikah. Akan tetapi, menurut Al-Jaziri dalam Al-Fiqh ‘alâ
al-Madzâhib al-Arba’ah, 3/58, dibaca syirkah lebih fasih (afshah).
Menurut arti asli bahasa Arab (makna
etimologis), syirkah berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa
sehingga tidak dapat lagi dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya
(An-Nabhani, 1990: 146). Adapun menurut makna syariat, syirkah adalah suatu
akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan
tujuan memperoleh keuntungan (An-Nabhani, 1990: 146).
Syirkah hukumnya jâ’iz (mubah), berdasarkan
dalil Hadis Nabi Shalallahu alaihi wasalam berupa taqrîr (pengakuan) beliau
terhadap syirkah. Pada saat beliau diutus sebagai nabi, orang-orang pada saat
itu telah bermuamalah dengan cara ber-syirkah dan Nabi Shalallahu alaihi
wasalam membenarkannya. Nabi Shalallahu alaihi wasalam bersabda, sebagaimana
dituturkan Abu Hurairah ra : Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman: Aku
adalah pihak ketiga dari dua pihak yang ber-syirkah selama salah satunya tidak
mengkhianati yang lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar dari
keduanya. [HR. Abu Dawud, al-Baihaqi, dan ad-Daruquthni].
Rukun syirkah yang pokok ada 3 (tiga) yaitu:
1. Akad (ijab-kabul), disebut juga shighat;
2. Dua pihak yang berakad (‘âqidâni),
syaratnya harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan tasharruf (pengelolaan
harta);
3. Obyek akad (mahal), disebut juga ma’qûd
‘alayhi, yang mencakup pekerjaan (amal) dan/atau modal (mâl) (Al-Jaziri, 1996:
69; Al-Khayyath, 1982: 76; 1989: 13).
Adapun syarat sah akad ada 2 (dua) yaitu:
1. Obyek akadnya berupa tasharruf, yaitu
aktivitas pengelolaan harta dengan melakukan akad-akad, misalnya akad
jual-beli;
2. Obyek akadnya dapat diwakilkan
(wakalah), agar keuntungan syirkah menjadi hak bersama di antara para syarîk
(mitra usaha) (An-Nabhani, 1990: 146).
Macam-Macam Syirkah Menurut An-Nabhani,
berdasarkan kajian beliau terhadap berbagai hukum syirkah dan dalil-dalilnya,
terdapat lima macam syirkah dalam Islam: yaitu:
(1) syirkah inân;
(2) syirkah abdan;
(3) syirkah mudhârabah;
(4) syirkah wujûh; dan
(5) syirkah mufâwadhah (An-Nabhani, 1990:
148).
An-Nabhani berpendapat bahwa semua itu
adalah syirkah yang dibenarkan syariah Islam, sepanjang memenuhi syarat-syaratnya.
Pandangan ini sejalan dengan pandangan ulama Hanafiyah dan Zaidiyah.
Menurut ulama Hanabilah, yang sah hanya empat macam, yaitu: syirkah inân,
abdan, mudhârabah, dan wujûh. Menurut ulama Malikiyah, yang sah hanya tiga
macam, yaitu: syirkah inân, abdan, dan mudhârabah. Menurut ulama Syafi’iyah,
Zahiriyah, dan Imamiyah, yang sah hanya syirkah inân dan mudhârabah (Wahbah
Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, 4/795).
Syirkah Inân
Syirkah inân adalah syirkah antara dua
pihak atau lebih yang masing-masing memberi konstribusi kerja (‘amal) dan modal
(mâl). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah dan Ijma Sahabat
(An-Nabhani, 1990: 148).
Contoh syirkah inân: A dan B insinyur
teknik sipil. A dan B sepakat menjalankan bisnis properti dengan membangun dan
menjualbelikan rumah. Masing-masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp 500
juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut.
Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd); sedangkan
barang (‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal
syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya (qîmah al-‘urûdh) pada saat
akad.
Keuntungan didasarkan pada kesepakatan,
sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan
porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing
menanggung kerugian sebesar 50%. Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab
Al-Jâmi’, bahwa Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata, “Kerugian didasarkan
atas besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka
(pihak-pihak yang bersyirkah).” (An-Nabhani, 1990: 151).
Syirkah ‘Abdan
Syirkah ‘abdan adalah syirkah antara dua
pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja (‘amal),
tanpa konstribusi modal (mâl). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran
(seperti pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun kerja fisik (seperti pekerjaan
tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu, nelayan, dan sebagainya) (An-Nabhani,
1990: 150). Syirkah ini disebut juga syirkah ‘amal (Al-Jaziri, 1996: 67;
Al-Khayyath, 1982: 35). Contohnya: A dan B. keduanya adalah nelayan, bersepakat
melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan
dan dijual, hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60%
dan B sebesar 40%.
Dalam syirkah ini tidak disyaratkan
kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja
syirkah ‘abdan terdiri dari beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun,
disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal.
(An-Nabhani, 1990: 150); tidak boleh berupa pekerjaan haram, misalnya, beberapa
pemburu sepakat berburu babi hutan (celeng).
Keuntungan yang diperoleh dibagi
berdasarkan kesepakatan; nisbahnya boleh sama dan boleh juga tidak sama di
antara mitra-mitra usaha (syarîk).
Syirkah ‘abdan hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah (An-Nabhani, 1990:
151). Ibnu Mas’ud ra. pernah berkata, “Aku pernah berserikat dengan Ammar bin
Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang
Badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa
apa pun.” [HR. Abu Dawud dan al-Atsram].
Hal itu diketahui Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam dan beliau
membenarkannya dengan taqrîr beliau (An-Nabhani, 1990: 151).
Syirkah Mudhârabah
Syirkah mudhârabah adalah syirkah antara
dua pihak atau lebih dengan ketentuan, satu pihak memberikan konstribusi kerja
(‘amal), sedangkan pihak lain memberikan konstribusi modal (mâl) (An-Nabhani,
1990: 152). Istilah mudhârabah dipakai oleh ulama Irak, sedangkan ulama Hijaz
menyebutnya qirâdh (Al-Jaziri, 1996: 42; Az-Zuhaili, 1984: 836). Contoh: A
sebagai pemodal (shâhib al-mâl/rabb al-mâl) memberikan modalnya sebesar Rp 10
juta kepada B yang bertindak sebagai pengelola modal (‘âmil/mudhârib) dalam
usaha perdagangan umum (misal, usaha toko kelontong).
Ada dua bentuk lain sebagai variasi syirkah
mudhârabah. Pertama, dua pihak (misalnya, A dan B) sama-sama memberikan
konstribusi modal, sementara pihak ketiga (katakanlah C) memberikan konstribusi
kerja saja. Kedua, pihak pertama (misalnya A) memberikan konstribusi modal dan
kerja sekaligus, sedangkan pihak kedua (misalnya B) hanya memberikan
konstribusi modal, tanpa konstribusi kerja. Kedua bentuk syirkah ini masih
tergolong syirkah mudhârabah (An-Nabhani, 1990: 152).
Hukum syirkah mudhârabah adalah jâ’iz (boleh) berdasarkan dalil as-Sunnah
(taqrîr Nabi Shalallahu alaihi wasalam) dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990:
153). Dalam syirkah ini, kewenangan melakukan tasharruf hanyalah menjadi hak
pengelola (mudhârib/‘âmil). Pemodal tidak berhak turut campur dalam tasharruf.
Namun demikian, pengelola terikat dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh
pemodal.
Jika ada keuntungan, ia dibagi sesuai
kesepakatan di antara pemodal dan pengelola modal, sedangkan kerugian
ditanggung hanya oleh pemodal. Sebab, dalam mudhârabah berlaku hukum wakalah
(perwakilan), sementara seorang wakil tidak menanggung kerusakan harta atau
kerugian dana yang diwakilkan kepadanya (An-Nabhani, 1990: 152). Namun
demikian, pengelola turut menanggung kerugian, jika kerugian itu terjadi karena
kesengajaannya atau karena melanggar syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal
(Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/66).
Syirkah Wujûh
Syirkah wujûh disebut juga syirkah ‘ala
adz-dzimam (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/49).
Disebut syirkah wujûh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau
keahlian (wujûh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujûh adalah syirkah
antara dua pihak (misal A dan B) yang sama-sama memberikan konstribusi kerja
(‘amal), dengan pihak ketiga (misalnya C) yang memberikan konstribusi modal
(mâl). Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat. Syirkah semacam
ini hakikatnya termasuk dalam syirkah mudhârabah sehingga berlaku
ketentuan-ketentuan syirkah mudhârabah padanya (An-Nabhani, 1990: 154).
Bentuk kedua syirkah wujûh adalah syirkah
antara dua pihak atau lebih yang ber-syirkah dalam barang yang mereka beli
secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, tanpa
konstribusi modal dari masing-masing pihak (An-Nabhani, 1990: 154). Misal: A
dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujûh,
dengan cara membeli barang dari seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A
dan B bersepakat, masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu
keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga
pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang).
Dalam syirkah wujûh kedua ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan
berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian
ditanggung oleh masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase barang
dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujûh kedua ini
hakikatnya termasuk dalam syirkah ‘abdan (An-Nabhani, 1990: 154).
Hukum kedua bentuk syirkah di atas adalah
boleh, karena bentuk pertama sebenarnya termasuk syirkah mudhârabah, sedangkan
bentuk kedua termasuk syirkah ‘abdan. Syirkah mudhârabah dan syirkah ‘abdan
sendiri telah jelas kebolehannya dalam syariat Islam (An-Nabhani, 1990: 154).
Namun demikian, An-Nabhani mengingatkan bahwa ketokohan (wujûh) yang dimaksud
dalam syirkah wujûh adalah kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah), bukan semata-semata
ketokohan di masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan
seorang tokoh (katakanlah seorang menteri atau pedagang besar), yang dikenal
tidak jujur, atau suka menyalahi janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya, sah
syirkah wujûh yang dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para
pedagang dia dianggap memiliki kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah) yang
tinggi, misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan keuangan
(An-Nabhani, 1990: 155-156).
Syirkah Mufâwadhah
Syirkah mufâwadhah adalah syirkah antara
dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah di atas (syirkah
inân, ‘abdan, mudhârabah, dan wujûh) (An-Nabhani, 1990: 156; Al-Khayyath, 1982:
25). Syirkah mufâwadhah dalam pengertian ini, menurut An-Nabhani adalah boleh.
Sebab, setiap jenis syirkah yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah pula
ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya (An-Nabhani, 1990: 156).
Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung
sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai
porsi modal (jika berupa syirkah inân), atau ditanggung pemodal saja (jika
berupa syirkah mudhârabah), atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan
persentase barang dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah wujûh).
Contoh: A adalah pemodal, berkonstribusi
modal kepada B dan C, dua insinyur teknik sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa
masing-masing berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk
berkonstribusi modal, untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan
pedagang kepada B dan C.
Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah
syirkah ‘abdan, yaitu ketika B dan C sepakat masing-masing ber-syirkah dengan
memberikan konstribusi kerja saja. Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan
C, berarti di antara mereka bertiga terwujud syirkah mudhârabah. Di sini A
sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat
bahwa masing-masing memberikan konstribusi modal, di samping konstribusi kerja,
berarti terwujud syirkah inân di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang
secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud
syirkah wujûh antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah
menggabungkan semua jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah mufâwadhah.