Edisi 10 : ISTISHNA' (Jual Beli Pesanan dengan Proses Manufaktur)
Posted by Ferdiansyah Syaiful Hijrah
» Saturday, March 18, 2017
Assalamu'alaikum wr. wb.
Alhamdulillaah wassholaatu wassalaamu 'alaa rasulilaah.
Amma ba'd
Ikhwan dan Akhwat yang dimuliakan Allah, alhamdulillah kita berjumpa lagi dalam Kajian Ekonomi Islam.
Malam ini kita akan membahas tentang ISTISHNA'
Mari kita mulai dengan membaca Basmallah
Bismillaahirrahmaanirraahiim
Istishna’
Istishnâ’ menurut Muhammad Rawas Qal'ahji adalah jual-beli sesuatu yang dideskripsikan berada dalam tanggungan yang proses pembuatannya berlangsung dari penjual atau orang lainnya (sale in the form of a contract for manufacture). Menurut Dr. Muhammad Ahmad az-Zarqa dalam bukunya ‘Aqd al-Istishnâ wa Mudâ Ahammiyatihi fî al-Istitsmârât al-Mu’âshirah, istishnâ adalah akad pembelian langsung sesuatu yang termasuk apa yang harus dibuat/dirakit/dibentuk/dibangun (yushna’u shun’an) yang mengharuskan penjual menyerahkannya dalam bentuk yang sudah jadi dibuat dengan bahan-bahan yang berasal darinya dengan spesifikasi yang spesifik dan dengan harga tertentu.
Hukum Istishnâ
Pada masa Rasul saw. masyarakat melakukan istishnâ’ dan beliau mendiamkan mereka. Diamnya Rasul saw. adalah persetujuan kepada mereka atas akad istishnâ’. Persetujuan Rasul saw. dan perbuatan beliau adalah sama seperti ucapan beliau—merupakan dalil syar’i.
Bahkan bukan hanya mendiamkan praktik istishnâ’ yang ada, beliau sendiri juga melakukannya. Anas ra. berkata:
أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ اِسْتَصْنَعَ خَاتَمًا فَقَالَ: إِنَّا قَدِ اتَّخَذْنَا خَاتَمًا وَنَقَشْنَا عَلَيْهِ نَقْشًا فَلاَ يَنْقُشْ عَلَيْهِ أَحَدٌ. وَإِنِّى لأَرَى بَرِيقَهُ فِى خِنْصَرِ رَسُولِ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ.
Nabi saw. pernah meminta dibuatkan sebuah cincin dan beliau bersabda, “Kami sudah mengambil cincin dan kami mengukirnya dengan sebuah ukiran maka hendaklah jangan seorang pun mengukir dengan ukiran yang sama.” Anas berkata: Sungguh aku melihat kilau sinarnya di jari kelingking Rasulullah saw. (HR an-Nasai).
Jadi Rasul saw meminta dibuatkan sebuah cincin dengan spesifikasi tertentu. Setelah itu, pembuat mengerjakan cincin tersebut sesuai dengan spesifikasi tertentu yang telah ditentukan oleh Rasul saw. itu. Lalu Rasul saw. mengambil cincin itu dan memakainya di jari kelingking beliau. Ini menunjukkan legalitas akad istishnâ’.
Rasul juga pernah memesan untuk dibuatkan mimbar. Sahal bin Said as-Saidi menuturkan: Rasulullah saw. pernah mengutus kepada Fulanah—Sahal menyebutkan namanya, “Suruhlah anakmu yang tukang kayu agar membuatkan bangku untuk aku duduk jika aku berbicara kepada orang-orang.” Wanita itu lalu menyuruh anaknya, dan anaknya membuatnya dari pohon hutan lalu dia bawa. Wanita itu pun mengirimkannya kepada Nabi saw., lalu beliau menyuruh agar diletakkan di situ dan aku lihat Rasulullah saw shalat di atasnya (HR al-Bukhari dan Abu Dawud).
Rasul saw memesan mimbar tanpa menjelaskan spesifikasinya secara spesifik, lalu pengrajin membuatnya dari kayu hutan dan mengirimkannya kepada Rasul saw. Tidak dijelaskannya spesifikasi secara khusus itu menunjukkan bahwa mimbar yang dipesan itu spesifikasinya seperti yang sudah biasa dan dikenal luas oleh masyarakat waktu itu.
Ketentuan Istishnâ’
Istishnâ’ yang dimaksudkan disini seperti dijelaskan oleh as-Sarakhsi dalam Al-Mabsûth (xv/84) merupakan jual-beli, yakni sebagai jenis jual-beli tersendiri yang berbeda dengan bentuk jual-beli lainnya, seperti sharf dan salam. Padanya berlaku hukum-hukum jual-beli secara umum disertai dengan ketentuan-ketentuan khusus tentangnya.
Sebagai akad jual-beli, akad istishnâ’ harus memenuhi rukun dan syarat-syaratnya sehingga sah. Rukunnya ada tiga. Pertama: al-‘aqidân (dua pihak yang berakad), yaitu al-mustashni’ (yang memesan barang itu sebagai pembeli) dan ash-shâni’ (pembuat sebagai penjual). Kedua: ijab dan qabul. Ketiga: al-‘ma’qûd ‘alayh (obyek akad), yaitu barang yang dipesan untuk dibuat (al-mustashna’ fîhi sebagai barang yang dijual).
Istishnâ’merupakan jual-beli. Yang menjadi obyek akad itu adalah barang yang dijual yang disebut al-mustashna’ fîhi atau al-mashnû’. Barang ini harus memenuhi beberapa syarat. Pertama: harus dijelaskan spesifikasinya secara jelas yang bisa menghilangkan perselisihan. Jual-beli itu terjadi dengan kesetaraan antara harga dan barang. Dalam istishnâ’, barang yang dijual itu berada dalam tanggungan diserahkan kemudian setelah jangka waktu tertentu. Semua spesifikasi atau sifat barang yang bisa menyebabkan perbedaan nilai atau harga harus disebutkan.
Kedua: barang itu (al-mashnû’) harus merupakan barang shinâ’ah, yaitu yang melalui proses pembuatan, perakitan, pembentukan atau pembangunan. Jadi barang yang dijual dalam istishnâ’ adalah barang jadi hasil proses pembuatan, perakitan, pembentukan atau pembangunan dari satu atau lebih bahan baku. Hadis pemesanan cincin dan mimbar dengan gamblang menjelaskan hal itu. Barang itu boleh dibuat sendiri oleh ash-shâni’ dan boleh juga oleh orang lain. Jadi barang (al-mustashna’ fîhi) itu tidak boleh berupa bahan baku atau bahan mentah seperti kayu gelondongan, beras, minyak, kain, produk pertanian dan buah, dan semisalnya. Produk-produk itu bisa dijual secara salam, tetapi tidak boleh dengan akad istishnâ’. Inilah yang membedakan jual-beli salam dengan jual beli istishnâ’.
Ketiga: bahan untuk membuat barang tersebut berasal dari penjual (ash-shâni’). Obyek akad adalah barang yang dibuat dengan semua penyusunnya dan itu adalah barang yang dijual. Seandainya bahan yang digunakan dari orang yang meminta dibuatkan barang, akad tersebut menjadi akad ijarah sebab obyek akadnya adalah hanya berupa kerja saja.
Harga dalam akad istishnâ’ tidak harus dibayarkan pada saat akad. Ini berbeda dengan bai’ as-salam karena harga harus dibayar pada saat akad. Harga istishnâ’ boleh dibayarkan saat akad, pada saat penyerahan barang dan boleh juga dibayar dengan tempo tertentu setelah itu, sekaligus ataupun secara angsuran. Hal itu dikecualikan dari pengharaman jual-beli utang dengan utang. Dasarnya adalah dalalah riwayat al-Bukhari dan Muslim tentang pemesanan cincin oleh Rasul saw. yang menunjukkan bahwa akad al-istishnâ tersebar luas di Madinah. Rasul saw. sendiri meminta (memesan) dibuatkan cincin dari emas dan segera saja penduduk Madinah juga meminta (memesan) dibuatkan cincin (ini sebelum emas diharamkan untuk laki-laki). Mereka melangsungkan akad al-istishnâ berdasarkan yang biasa mereka lakukan. Ini menunjukkan bahwa syariah menyetujui akad al-istishnâ yang tersebar di tengah penduduk Madinah dan syariah tidak menambah hukum-hukum baru. Itu menunjukkan tidak wajibnya penyerahan harga di majelis akad. Sebaliknya, harga itu boleh berupa harga yang ditunda dengan tempo tertentu.
Jika akad istishnâ’ sempurna maka akad tersebut bersifat mengikat kedua pihak. Keduanya berhak membatalkannya selama belum berpisah majelis. Jika barang belum dibuat, keduanya juga boleh membatalkan akad tersebut asal dengan kesepakatan kedua pihak. Adapun jika barang sudah dibuat maka al-mustashni’ tidak boleh membatalkan akad tersebut sebab hal itu bisa menyebabkan dharar pada diri penjual.
Pada saat barang diserahkan, maka al-mustashni’ (yang memesan dibuatkan barang) memiliki khiyar ru’yah. Jika barang itu sesuai spesifikasi yang disepakati maka ia harus menerimanya. Jika tidak sesuai maka ia punya dua pilihan, antara menerimanya atau mengembalikan barang tersebut dan meminta barang yang sesuai spesifikasi atau meminta kembali harga yang sudah ia bayarkan.
Begitupun jika penjual (ash-shâni’) meninggal sebelum barang itu selesai, maka pemesan (al-mustashni’) memiliki khiyar, yaitu antara menerima diberikan barang dari pembuat (ash-shâni’) lainnya atau membatalkan akad tersebut.
Jual-beli mobil, furnitur, makanan olahan, pakaian, rumah, dan barang-barang shinâ’ah lainnya bisa dilakukan dengan akad istishnâ’ ini. Dalam hal ini ada kemudahan dan potensi untuk bergeraknya perekonomian secara dinamis. Wallâh a’lam bi ash-shawâb.
Tanya:
Dharar itu apa ustad?
----------------------------------------------------------------------------------
Jawab:
Dharar itu membahayakan atau menyulitkan
Tanya:
ustadz..
klo transaksinya by online bisa kah?
pemesanan dan pengiriman tidak bertemu langsung..
yg saya tw..untuk jual beli emas harus tatap muka
bagaimana ustadz
__________
Jawab:
Boleh, selama rukun jual beli dan syarat-syarat istishna' (sebagaimana dijelaskan di atas) terpenuhi.
Wallaahu a'lam
Tanya:
kalau barang yg dipesan mengecewakan
tapi kita g boleh megembalikan gimana ustadz
---------------------------------------------------------------------
Jawab:
Jika ada syarat tidak boleh mengembalikan berarti akad nya cacat. Silakan pelajari lagi mengenai AKAD di Kajian Ekonomi Islam Edisi 1.
Pembeli pada sistem istishna' punya Khiyar Ru'yah, yaitu ketika barang yang diterima tidak sesuai pesanan maka pembeli boleh membatalkan akad (tidak jadi beli) atau penjual/pembuat memperbaiki barang nya.
Wallaahu a'lam
Tanya:
Ada tetangga anaknya minta beli not book tp mmhnya ga ada uang, di bilang sy " bi sy ,o kredit dong sm ibu" sy bilang harga segini belinya ibu mo ga harga kredit sm sy segini" gmn pak ustad riba ga ?
----------------------------------------------------------------------------------------
Jawab:
ini tidak termasuk riba dan tidak termasuk menjual dengan dua harga, selama penjual dan pembeli menyepakati salah satu harga (harga kontan atau harga kredit) yang diambil, sebelummeninggalkan majelis akad.
Ini sudah dibahas di kajian beberapa waktu yang lalu.
Wallaahu a'lam
Terimakasih byk ....maaf sy br ikutan....
Meskipun harga 2x lipat ...msh ttp tdk riba yg pentik suka sama suka ?....maaf klo menggagu...
------------------------------------------------------------------------------------------
Jawab:
Ya betul. Selama 'an taroodin (saling ridho) maka tidak mengapa. Perlu diingat bahwa yang haram itu bukan jual beli kredit nya, tapi adanya DENDA ketika terlambat bayar angsuran kredit, seperti pada sistem LEASING.
Denda tersebut termasuk ke dalam Riba Nasi'ah.
Maka kita tidak boleh membeli sesuatu dengan sistem leasing ini.
Tanya:
ustadz riba itukan dosa besar ya, tapi kalo anggota keluarga kita ada yang melakukan riba dan saya sudah memberitahukannya tetapi jawaban dari dia abisnya kepetet gmana dong?
itu bagaimana ya ustadz? dan uang riba itu di gunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari"
yang saya tau semua yang bersangkutan dengan uang riba itu akan masuk neraka?
apakah jika saya melalukan shalat, zakat,sedekah dll akan masuk neraka juga ustadz?
-----------------------------------------------------------------------------------------
Jawab:
1. Para Ulama sepakat bahwa yang namanya KEPEPET / DARURAT adalah kondisi yang bisa mengakibatkan kematian. Dalam kondisi darurat itu, ada pengecualian terhadap hal-hal yang hukum asal nya haram ketika dalam kondisi normal. Misalnya ada orang tersesat di tengah hutan dan sudah sangat kelaparan, benar-benar tidak ada yang bisa dimakan, yang ada hanyalah makanan haram (misalnya daging babi) maka dia dibolehkan memakannya, karena kl tidak maka dia akan mati. Nah, pada kasus anggota keluarga ukhti, apakah kondisi nya demikian (jika tidak mengambil riba makan akan mati) ? Jika tidak, maka hukum Riba tetap Haram.
2. Ketika Ukhti sudah memberikan nasehat, maka Ukhti berlepas diri dari perbuatan dosa yang dilakuka oleh anggota keluarga Ukhti. Tetaplah beribadah seperti biasa dan terus berupaya menyadarkan anggota keluarga Ukhti tersebut.
Wallaahu a'lam
Tanya:
Bagaimana pak ustd jika kita memesan barang terus si penjualnya mnta bayarnya dilunasin terlebih dahulu...eh ternyata barang yg dipesan tdk sesuai dgn yg diinginkan atau tidak selesai(contoh beli lemari ) pas kita bilang sm penjualnya minta di selesaikan dia bilang mau diselesaikan tapi ternyata tidak samapi2 sudah bertahun tahun.
*Apa dosa kita membeli sesuatu yg barangnya blm kelihatan.
* boleh ga barang tersebut kita kembalikan karena sudah bertahun2 tdk diselesaikan.
Terimakasih
--------------------------------------------------------------------
Jawab:
1. Pada kajian di atas ada kalimat yang berbunyi: . Itu menunjukkan tidak wajibnya penyerahan harga di majelis akad. Berarti boleh dibayar lunas di awal, boleh juga dengan tempo tertentu.
2. Seperti jawaban saya pada pertanyaan sebelumnya, bahwa pembeli pada sistem istishna' punya Khiyar Ru'yah, yaitu ketika barang yang diterima tidak sesuai pesanan maka pembeli boleh membatalkan akad (tidak jadi beli) atau penjual/pembuat memperbaiki barang nya. Jadi boleh saja Ukhti mengembalikan Lemari itu.
Wallaahu a'lam
Sayang sekali waktunya habis.
Mohon maaf atas segala kesalahan dan kekurangan.
Insya Allah kita jumpa lagi di Selasa depan.
Mari kita tutup dengan hamdalah, istighfar, dan do'a kifaratul majlis.
Wassalaamu'alaikum wr. wb.
Twitter: @KangFerdiansyah
ADS HERE !!!