As-Salaf
berasal dari kata salafa–yaslufu–salfan;
secara bahasa artinya berlalu, dulu atau taqaddama
wa sabaqa (mendahului); juga bermakna al-qardh (utang).1
As-Salam
secara bahasa memiliki banyak arti, di antaranya adalah at-taqdîm wa at-taslîm (mendahulukan dan
menyerahkan).2
Menurut al-Azhari,
dalam konteks muamalah, as-salaf mempunyai
dua arti: al-qardhu3 dan as-salam.
4
Arti yang kedua ini lebih dominan sehingga as-salaf
adalah as-salam
atau sebaliknya; bahkan dikatakan ini arti menurut seluruh ahli bahasa.5Hanya
saja as-salaf lebih
digunakan oleh orang Irak dan as-salam
digunakan
oleh orang Hijaz. Disebut as-salam
karena penyerahan harga dilakukan di majelis akad. Para fukaha mengartikan as-salaf atau as-salam sebagai akad atas
sesuatu dengan karakter (spesifikiasi) yang dijelaskan dan dijamin diserahkan
belakangan dengan harga yang diserahkan di majelis akad.6
Dalam Mu‘jam al-Lughah
al-Fuqahâ’ dinyatakan bay’ as-salam (forward buying) adalah jual-beli
barang yang diserahkan belakangan yang spesifikasinya dijamin dengan harga yang
diserahkan di majelis akad.
7
Dengan demikian, bay’ as-salam/bay’ as-salaf
adalah jual-beli sesuatu yang dijelaskan karakter (spesifikasi)-nya yang
dijamin diserahkan belakangan dengan sesuatu yang diserahkan seketika.8
Intinya, seseorang menyerahkan kompensasi seketika untuk suatu kompensasi yang
dijelaskan spesifikasinya dan dijamin diserahkan belakangan, atau ia
mendahulukan pembayaran harga suatu barang yang akan ia terima setelah tempo
tertentu.9
As-salaf
atau
as-salam adalah
jual beli yang disyariatkan (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 281).
Ibn Abbas
menceritakan, bahwa Nabi saw. tiba di Madinah dan masyarakat melakukan as-salaf pada buah-buahan satu
atau dua tahun. Lalu Nabi saw bersabda:
مَنْ
أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ فَفِي كَيْلٍ مَعْلُوْمٍ وَوَزْنٍ مَعْلُوْمٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُوْمٍ
Siapa saja yang melakukan as-salaf pada sesuatu maka hendaknya dalam takaran dan timbangan
yang jelas sampai tempo yang jelas. (HR Bukhari).
Beberapa Ketentuan as-Salam
As-Salam
mempunyai
tiga rukun (ketentuan pokok): (1) shighat
(ijab dan qabul); (2) al-‘âqidân (dua
orang yang melakukan akad as-salam),
yaitu orang yang memesan/pembeli (rabb
as-salam) dan yang menerima pesanan/penjual (al-muslam ilayh); keduanya haruslah
orang yang secara syar‘i
layak melakukan tasharruf; (3) al-ma‘qûd
‘alayh (obyek akad), yaitu barang yang dipesan (al-muslam fîh) dan harga (ra’s mâl as-salam). Selain itu, ada
syarat-syarat tertentu agar as-salam itu
sah, yaitu syarat-syarat yang berkaitan dengan al-muslam fîh dan ra’s mâl as-salam.
Syarat-syarat berkaitan
dengan al-muslam fîh
adalah: Pertama,
Harus sesuatu yang bisa ditimbang (al-makîl),
ditakar (al-mawzûn)
atau dihitung (al-ma’dûd).
Karena, Allah melarang kita menjual sesuatu yang bukan milik kita atau belum
sempurna kita miliki.10 As-Salam adalah jual-beli yang demikian, namun
oleh nash dikecualikan dari larangan itu, sehingga larangan itu khusus berlaku
pada yang lain. Karenanya, sesuatu yang boleh dilakukan as-salam haruslah yang
dinyatakan oleh nash, yaitu harus sesuatu yang bisa ditakar, ditimbang atau
dihitung. Syarat harus bisa ditakar dan ditimbang sesuai dengan teks hadis di
atas. Adapun yang bisa dihitung karena hadis riwayat Bukhari –diantaranya dari
Muhammad ibn Abi al-Mujalid, seperti hadis di bawah– membolehkan as-salam pada makanan. Ibn
al-Mundzir juga telah menukilkan adanya Ijmak Sahabat akan kebolehan as-salam pada makanan. Makanan
itu bisa ditetapkan dengan ditakar, ditimbang atau dihitung. Hukum as-salam terkait dengan
karakter ini. Dengan demikian, as-salam
boleh
dilakukan untuk sesuatu yang penetapannya dengan dihitung.
Kedua,
selain harus bisa ditakar, ditimbang atau dihitung, al-muslam fîh itu harus jelas dan
ditentukan jenisnya, misalnya kacang bogor, tahu sumedang, telur ayam ras, kain
songket Lombok, dsb; juga harus ditentukan kadar takaran, timbangan atau
hitungannya, misal sekian ton, liter, meter, buah, dsb. Semua itu harus berada
dalam jaminan, artinya dijamin akan diserahkan dengan sifat-sifat (spesifikasi)
seperti itu.
Ketiga,
harus ada tempo yang jelas (diketahui) untuk penyerahan al-muslam fîh itu; misalnya
sebulan, seminggu, tanggal sekian, dsb. Hal itu sesuai teks hadis di atas, dan
karena adanya tempo itulah yang menjadikannya as-salam.
Sebab, jika kontan maka bukan as-salam
melainkan jual-beli cash.
Penjual tidak
disyaratkan harus memiliki kebun, pohon, asal atau sumber al-muslam fîh. Muhammad ibn Abi
al-Mujalid pernah bertanya kepada Abdullah ibn Abiy Awfa ra., dan Abdurrahman
ibn Abza ra., apakah para sahabat melakukan as-salaf
pada
masa Nabi saw, Abdullah menjawab :
كُنَّا
نُسْلِفُ نَبِيْطَ أَهْلِ الشَّأْمِ فِي الْحِنْطَةِ وَالشَّعِيْرِ وَالزَّيْتِ
فِي كَيْلٍ مَعْلُوْمٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُوْم،ٍ قُلْتُ: إِلَى مَنْ كَانَ
أَصْلُهُ عِنْدَهُ؟ قَالَ: مَا كُنَّا نَسْأَلُهُمْ عَنْ ذَلِكَ، و قال عَبْدِ
الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى: كَانَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صلى الله عله وسلم
يُسْلِفُوْنَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صلى الله عله وسلم وَلَمْ نَسْأَلْهُمْ
أَلَهُمْ حَرْثٌ أَمْ لاَ
Kami men-salaf hasil tetumbuhan penduduk Syam pada Gandum, Barley dan
minyak dalam takaran yang jelas sampai tempo yang jelas. Aku (Muhammad)
bertanya : “kepada orang yang memiliki pohonnya?” Abdullah menjawab : “kami
tidak menanyakan hal itu”. Sedangkan Abdurrahman ibn Abza berkata : “para
sahabat Nabi saw melakukan as-salaf pada masa Nabi saw dan kami tidak menanyakan apakah mereka
memiliki kebun atau tidak” (HR. Bukhari)
Adapun syarat ra’s mâl as-salam (harga): Pertama, harus jelas jenis dan
kadar/jumlahnya; atau jelas nominalnya jika uang. Kedua, pembayaran harganya harus diserahkan
penuh atau semuanya pada saat akad di majelis akad, karena as-salaf dalam bahasa Arab adalah memberikan
sesuatu pada sesuatu, yaitu membayarkan uang sebagai utang atas barang yang
diambil (diterima) belakangan. Karenanya, seperti yang dikatakan Imam
asy-Syafii, tidak akan terpenuhi makna taslîf
kecuali pembayarannya diberikan penuh (semuanya) pada saat akad di majelis akad
sebelum keduanya berpisah.11 Siapa yang tidak
memberikan pembayaran sesuatu yang ia pesan, maka itu bukan as-salam, melainkan janji akan memesan (wa’d bi an yuslifa). Jika hanya
sebagian yang diserahkan, maka as-salam
yang sah hanya pada kadar yang diserahkan itu, sementara yang belum diserahkan
hanya berupa janji dan tidak mengikat. Jadi, yang harus dibayarkan bukan hanya
DP (uang muka)-nya saja, tetapi pembayaran harganya secara penuh. Ketiga, tidak boleh terjadi ghabn fâkhisy (kecurangan harga;
ada selisih yang tidak wajar/zalim). Harga itu ditentukan menurut harga pasar
saat dilakukan akad. Terjadinya ghabn
fâkhisy harus memenuhi dua syarat: (1) adanya ketidaktahuan pihak
yang dicurangi; dan (2) selisih yang tidak wajar/zalim sesuai penilaian para
pedagang. Jika terjadi hal itu maka yang dicurangi boleh memilih antara
menerimanya dan tetap melanjutkan akad atau membatalkan akad dan meminta kembali
harganya seperti yang diserahkan saat akad. Ia tidak boleh hanya mengambil
selisihnya saja.
Jika saat jatuh tempo
jenis barang yang dipesan tidak ada atau kadarnya kurang, maka pembeli
(pemesan/rabb as-salam)
hanya boleh mengambil kembali harga yang ia bayarkan saat akad. Ia tidak boleh
mengambil lebih dari itu dengan alasan kompensasi, denda atau lainnya. Jika ia
mengambil uang lebih dari itu, artinya ia mengambil uang yang diutangkan dengan
tambahan dan itu adalah riba. Ia pun tidak boleh mengambil pengganti barang
yang lain. Itu artinya ia telah mengakadkan akad baru, yaitu ia menjual barang
yang belum ia terima dengan barang lain.12
Dengan kata lain, ia telah melakukan bay’atayn
fî bay’ah (dua jual beli dalam satu transaksi) dan itu adalah haram.
Di samping itu, Nabi saw. juga telah bersabda:
مَنْ
أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ فَلاَ يَصْرِفْهُ إِلَى غَيْرِهِ
Siapa saja yang melakukan as-salaf pada sesuatu, janganlah mengalihkannya ke yang lain (HR
Abu Dawud)
Wallâh
a‘lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]
Catatan
Kaki:
1
Lihat: Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab,
9/158, Dar Shadir, Beirut, cet. i. tt
2
Lihat: al-Jurjani, at-Ta’rifât,
1/160, Dar al-Kitab al-’Arabi, Beirut, cet. i. 1405
3
Yaitu utang dimana tidak ada manfaat tambahan bagi pemberi utang dan orang yang
berutang wajib mengembalikannya sama seperti yang dia utang. Lihat: Al-Fayrus
al-Abadi, al-Qâmûs al-Muhîth,
2/391; Al-Azhari, Tahdzîb al-Lughah,
4/287
4
Lihat: al-Jauhari, ash-Shihâh
fî al-Lughah, 1/327; Ash-Shahib ibn ‘Ibad, al-Muhîth fî al-Lughah,
2/265; ar-Razi, Mukhtâr ash-Shihâh,
1/131, Maktabah Lubnan Nashirun, Beirut, cet. baru. 1995-1415
5
Al-Qâmûs al-Fiqh,
1/180, CD al-Maktabah asy-Syamilah, al-ishdar ats-tsani
6
Lihat: Khalid ibn Rasyid as-Sa’idan, Qawâ’id
al-Buyû’ wa Farâ’id al-Furû’, hlm. 91
7
Lihat: Mu’jam Lughah
al-Fuqahâ’, 1/249, CD al-Maktabah asy-Syamilah al-ishdar ats-tsani
8
Lihat: Yusuf as-Sabatin, al-Buyû’ al-Qadîmah
wa al-Mu’ashirah wa al-Bûrushât al-Mahaliyah wa ad-Dualiyah,
hal. 67-dst., Dar al-Bayariq, cet. i. 2002
9
Lihat: an-Nabhani, asy-Syakhshiyah
al-Islâmiyah, 2/292-296, min mansyurat Hizb
at-Tahrir, Beirut, cet. v (mu’tamadah). 2003
10
Sabda Nabi saw.: “Lâ tabi’ mâ laysa
‘indaka (Janganlah engkau menjual apa yang bukan milikmu)”
(HR Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibn Majah dan Ibn Hibban)
11
Lihat: Al-Baihaqi, Ma’rifah as-Sunan wa
al-Atsâr, 9/457, Dar al-Wafa’, Mesir. 1412
12 Ini jelas dilarang
sesuai hadis footnote no. 10, dan sabda Rasul, “Siapa
yang membeli makanan maka jangan ia jual hingga ia menerimanya.” (HR. Bukhari) dan
hadis-hadis senada lainnya.